Kursus online makin menjamur sejak pandemi, tapi belum ada regulasi yang jelas untuk menjamin kualitasnya
sumber gambar: freepik

Kursus online makin menjamur sejak pandemi, tapi belum ada regulasi yang jelas untuk menjamin kualitasnya

Pandemi COVID-19 lalu mendongkrak pertumbuhan industri pendidikan daring. Perusahaan data pasar Statista memproyeksikan pendapatan industri ini di Indonesia akan mencapai US$1,8 miliar (Rp 27,7 triliun) pada 2023. Ini jauh lebih tinggi dari 2019 yang hanya sebesar US$112 juta (Rp 1,7 triliun).

Salah satu faktornya adalah maraknya kursus daring yang ditawarkan perusahaan teknologi pendidikan (“edutech”), terutama di sektor nonformal. Di antaranya termasuk RevoU, My Skill, hingga Hacktiv8.

Bahkan setelah lockdown berakhir, kursus daring terus berkembang karena tetap menawarkan fleksibilitas tempat dan waktu pembelajaran serta harga yang relatif terjangkau.

Para penyedia mengiklankan dan mengklaim bahwa kursus mereka menjamin peserta mendapatkan pekerjaan. Kursus-kursus ini, misalnya, banyak fokus pada pengembangan karier era modern seperti pemasaran digital dan sains data.

Oleh karena itu, kita pun bisa menemui banyak penyedia kursus daring yang menerbitkan sertifikat. Jika melihat media sosial profesional seperti LinkedIn, tak perlu waktu lama untuk menemukan unggahan mengenai sertifikat kursus dari berbagai institusi.

Namun, bagaimana standar kualitas dari banyaknya sertifikasi atau kursus tersebut?

Ketentuan terkini mengenai kursus daring di Indonesia termuat dalam suatu petunjuk teknis dari Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) yang terbit pada 2018.

Sayangnya, instrumen tersebut bukanlah ketentuan hukum yang kuat – kerap disebut “soft regulation” – sehingga belum mampu mengatur kualitas para penyedia kursus daring dengan baik. Petunjuk teknis tersebut baru berfokus pada teknis pelaksanaan seperti spesifikasi perangkat dan hanya sedikit memuat ketentuan substantif seperti pengaturan konten dan instruktur.

Masalah kualifikasi dan kualitas lulusan kursus

Reviu literatur di Amerika Serikat (AS) sebelum pandemi menemukan beberapa permasalahan dalam kursus daring, baik terkait pembelajar, instruktur, maupun konten pembelajarannya.

Misalnya, banyak instruktur hanya berbekal materi lawas yang tidak diadaptasi untuk kelas daring hingga akhirnya kesulitan menangkap sinyal nonverbal dan gestur dari pembelajar. Ini juga menyebabkan banyak pembelajar merasa “terisolasi” karena instruktur tidak menerapkan pengajaran interaktif yang penting dilakukan saat mengajar secara daring.

Indonesia pun tidak terlepas dari permasalahan ini. Beragam kajian mencatat kurangnya interaktivitas dalam pembelajaran yang cenderung searah, konten video dan fitur pembelajaran sosial yang jarang diperbarui, hingga konsep “belajar sendiri” yang sering membuat motivasi rendah karena kurangnya dorongan eksternal.

Dari segi asesmen, kursus online cenderung tidak memiliki standar dan kriteria penilaian yang pasti. Hal ini akan berdampak pada kualitas lulusannya.

Apalagi, baik sebelum ataupun setelah pandemi, industri kerja masih cenderung memilih lulusan dengan pendidikan tradisional.

Kajian tahun 2005 dari Florida State University, misalnya, menunjukkan 96% dari 258 perusahaan lebih memilih kandidat dengan gelar pendidikan tradisional karena punya kemampuan interaksi, reputasi, keterampilan, dan pengalaman yang lebih sesuai.

Sementara, yang lebih terkini, studi tahun 2020 dari Vanderbilt University yang menyurvei sekitar 1.000 perekrut di suatu situs pasar pekerja lepas menemukan bahwa mereka konsisten menganggap kualifikasi pendidikan tinggi formal di AS – sarjana, diploma, bahkan community college – lebih unggul dari sertifikat kursus daring.

Tanpa regulasi yang kuat untuk mengantisipasi masalah-masalah ini, industri kursus online di Indonesia berpotensi hanya jadi pabrik sertifikat dan bahan pamer di media sosial tanpa manfaat pendidikan yang jelas bagi lulusannya.

Standardisasi melalui regulasi

Sebenarnya, masalah di atas adalah kendala yang juga muncul dalam pendidikan formal di Indonesia. Ini terjadi terutama seiring sekolah dan guru beralih ke pembelajaran daring.

Berbagai kebijakan berupaya mengatasi masalah di sektor formal ini. Permendikbud Nomor 119 Tahun 2014 mengatur secara detail mengenai pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tingkat sekolah dasar dan menengah. Sejak 2020, muatan mengenai PJJ dimasukkan dalam kebijakan tentang keberlangsungan pendidikan tinggi.

Sayangnya, hal yang sama tidak terlihat dalam konteks pendidikan nonformal. Perlu regulasi dari Kemdikbudristek untuk mengatur standar dan kualitas kursus daring – yang sama kuatnya dengan regulasi di pendidikan daring formal.

Kebijakan ini nantinya perlu mengatur beberapa komponen penting.

Pertama, kualifikasi instruktur perlu dipertegas demi memastikan bahwa materi yang disampaikan memang berdasarkan kebutuhan dan realitas di lapangan.

Memang ada Permendikbud Nomor 90 Tahun 2014 yang menjelaskan kualifikasi minimal untuk menjadi instruktur. Untuk kursus berbasis keilmuan, merak harus memiliki kualifikasi pendidikan S1/D4, sertifikat kompetensi, dan sertifikat instruktur. Sedangkan untuk kursus berbasis teknis praktis, terdapat syarat pendidikan setara SMA, pengalaman mengajar 3 tahun, dan sertifikasi instruktur.

Namun, aturan ini belum menyebutkan format kursus daring.

Di berbagai negara, instruktur wajib memegang kualifikasi magister atau sertifikasi terakreditasi untuk mengajar kursus di bidang tertentu seperti advokat dan akuntan. Bagi kursus dengan fokus kemampuan teknis-praktis, instruktur butuh pengalaman kerja yang cukup lama untuk menguasai bidang tertentu secara mendalam.

Uni Eropa memiliki sistem European Qualifications Framework (EQF). Kerangka ini menggolongkan sertifikasi ke dalam tujuh level yang berbeda – dari Level 1 untuk kemampuan dan pengetahuan dasar hingga Level 8 untuk tingkat doktoral. Sebagai contoh, sertifikasi teknis yang didapatkan melalui apprenticeship dalam bidang seperti akuntansi dikategorikan sebagai Level 3.

Pemerintah dapat menerapkan kerangka serupa untuk mengatur kualifikasi instruktur kursus daring di Indonesia sesuai dengan karakter kursus yang mereka ampu.

Kedua, perlu ada syarat muatan dan metode penyampaian materi.

Saat ini banyak kursus daring hanya berjalan dengan sesi konferensi video rutin. Bahkan, ada juga yang hanya menggunakan rekaman. Padahal, setiap jenis pembelajaran memiliki fungsi dan dampaknya masing-masing.

Metode synchronous (ada interaksi langsung dengan pengajar) baik diterapkan untuk pembelajaran yang bersifat diskusi atau berupa presentasi dan praktik. Namun, metode ini memerlukan keberadaan instruktur dan para peserta dalam waktu bersamaan. Sementara, metode asynchronous (berbasis rekaman atau materi saja) memungkinkan peserta belajar dengan waktu dan kecepatannya sendiri-sendiri.

Sejak pandemi tiba di Indonesia, berbagai institusi pendidikan formal seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) mengambil langkah melaksanakan pembelajaran jarak jauh dengan mengintegrasikan sesi synchronous dan asynchronous.

Institusi-institusi pendidikan di negara Barat sudah banyak mengembangkan dan menerapkan teknik pengajaran baru untuk metode daring.

Harvard University di AS, misalnya, menyediakan panduan tentang praktik-praktik baik ketika mengajar secara daring. Dalam panduan tersebut, mereka memberikan rekomendasi terkait proporsi yang tepat antara pembelajaran interaktif dan rekaman, tergantung karakter dari materi yang berbeda-beda.

Ketiga, kursus yang menerbitkan sertifikasi perlu memiliki komponen asesmen yang sesuai pada akhir masa belajar.

Hingga kini, baru Permendikbud Nomor 70 Tahun 2008 yang mengatur uji kemampuan untuk pendidikan nonformal, termasuk kursus-kursus. Peraturan tersebut mengatur asesmen secara garis besar dan menyebutkan adanya standar operasional untuk setiap sektor atau bidang keahlian seperti kesehatan atau teknik.

Namun, lagi-lagi, belum ada ketentuan khusus untuk kursus daring.

Pembelajaran daring, misalnya, membuat proses pembelajaran menjadi lebih menantang. Oleh karenanya, metode asesmen kursus daring perlu dibuat secara khusus sehingga dapat memastikan bahwa peserta kursus benar-benar memahami materi pada level yang sebanding dengan pembelajaran tatap muka.

Australian Skills Quality Authority (ASQA) memberikan contoh baik mengenai peran pemerintah dalam menjamin kualitas pembelajaran daring agar tidak timpang dengan kelas fisik.

Standar tahun 2015 yang mereka terbitkan untuk organisasi pengajar yang terdaftar (Registered Training Organisations atau RTO) berfungsi sebagai tolok ukur penyedia kursus atau pelatihan dari awal hingga akhir.

ASQA mengatur prinsip-prinsip asesmen, bukti kompetensi yang harus ditunjukkan peserta, hingga persyaratan pelaksanaan penilaian oleh penyedia kursus. Dalam aturan ini, kursus daring juga terikat beberapa kriteria tambahan yang perlu dipenuhi berdasarkan klasifikasinya – misalnya kursus yang sepenuhnya online, campuran (blended learning), jarak jauh (distance learning), dan lain-lain.

Terdapat banyak ruang untuk memajukan kualitas kursus yang ada di Indonesia. Hal tersebut dapat dilakukan baik melalui regulasi yang tegas seperti peraturan menteri, maupun standar lainnya yang berlaku secara nasional. Ini penting untuk memperbaiki medan liar kursus daring yang kini menjamur di Indonesia.
source

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *